haha
Minggu, 11 November 2012
Senin, 05 November 2012
BUDAYA POLITIK SUKU BALI
Unsur
kehidupan masyarakat dan kebudayaan di Bali, berkembang seiring dengan
perkembangan unsur-unsur yang berasal dari budaya agama Hindu Jawa, terutama
berasal dari perluasan pengaruh kekuasaan Singosari dan Majapahit. Hal ini
tampak dalam tradisi seperti adanya tokoh pedanda, nama-nama yang menunjukkan
kasta, upacara pembakaran mayat, berbagai tari dan arsitektur bermotif Hindu.
Ini berpengaruh pula dalam kehidupan politik.
Namun
kemudian terjadi perkembangan budaya Bali menjadi tradisi modern, sejak
kemerdekaan Republik Indonesia. Ditambah pula oleh banyaknya wisatawan asing
dan domestik yang masuk ke Bali. Sehingga pendidikan dan budaya serta
pengaruh-pengaruh masa kini telah banyak membawa perubahan, terutama
dalam sistem pelapisan kasta. Tetapi yang gotong royong, baik sebagai nilai
budaya mau pun dalam sistem perilaku. Gotong royong telah menjadi landasan dari
berbagai bentuk kegiatan sosial di Bali, sehingga tampak sangat menggerakkan
kehidupan kekerabatan dan komunikasi masyarakat Bali.
Bentuk gotong tersebut diberbagai
istilah dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh yaitu:
1.
Ngoupin (gotong
royong antar-individu atau keluarga).
2.
Ngedeng (gotong
royong antar-perkumpulan).
3.
Ngayah (gotong
royong untuk keperluan agama).
Itulah
sebabnya masyarakat Bali relatif jauh dari keinginan untuk memisahkan diri
dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia, rasa kegotongroyongan mereka
terbentuk dari budaya mereka sendiri, kendati kesempatan untuk hal tersebut
memungkinkan melihat potensi parawisata yang mereka miliki. Bayangkan betapa
banyak para turis dari manca negara yang mengatakan bahwa ”see Bali before yur die”
artinya bila meninggal orang perlu mendambakan syurga maka sebelum mati orang
perlu mendambakan Bali.
Sayang
kekerabatan kasta yang sebenarnya adalah untuk menentukan tingkat pemahaman
seseorang umat Hindu terhadap agamanya disalahartikan, seseorang dari
kasta Brahmana bila melahirkan anak seorang yang berbakat dagang seharusnya
tidak perlu diberi kasta Brahmana tetapi adalah kasta Weisya, bukan ikut
seperti ayahandanya yang memiliki perbedaan pengalaman makan asam garam
keduniawian ini, dengan begitu tingkat Moksah seseorang terasa jauh bedanya.
Langganan:
Postingan (Atom)